SELAMAT DATANG
Mari berbuat daripada hanya berdiam diri !

CONTOH LAPORAN PERJALANAN TIRTAYATRA


BAB I
PENDAHULUAN

  1. PENGERTIAN
Tirtha-yatra berasal dari kata tirtha dan yatra. Tirtha berarti air suci, air kehidupan, atau nectar, tempat-tempat suci yang ada air sucinya. Tirtha juga berarti orang-orang suci, sebab orang-orang suci umumnya berada di tempat-tempat suci yang ada air sucinya. Atau, orang-orang suci juga disebut sebagai tirtha karena orang-orang suci mempunyai kekuatan suci untuk menyucikan orang, seperti halnya kekuatan yang dimiliki oleh tempat-tempat suci atau tirtha. Di Bali tirta berarti air suci yang sudah dimohonkan kepada Tuhan yang mana sudah menjadi wangsuh pada dari Tuhan dan sudah mendapat berkat dari Tuhan. Air itu ( tirta ) walaupun dibuat dari air aqua atau air pancuran, tetapi tidak lagi menjadi air biasa karena sudah melalui suatu proses upacara keagamaan atau spiritual tertentu sehingga ia telah menjadi tirta. Tirta bisa juga berarti tempat suci. Di India ada tempat suci yang kesuciannya melebihi tempat suci yang lain. Tempat suci itu disebut  chardame. Char atinya empat dan dame artinya tempat yang sangat suci. Keempat tempat suci itu yaitu :
1.           Bradrinat  yang ada di Himalaya tempat Rsi Wiasa bertapa. Goa tempat bertapa sampai sekarang masih ada.
2.            Edarnat tempat pemujaan kepada Dewa Siwa.
3.            Jamuna Sri tempat munculnya Sungai Jamuna
4.            Gangga Sri tempat munculnya Sungai Gangga.
Siapun yang berhasil mengunjungi keempat tempat suci ini  kemoksaan atau pembebasan duniawai terjamin. Oleh karena itu sangat jarang ada orang berhasil ke sana. Walaupun tempat ini melebihi tempat lain kesuciannya, namun pergi ke sana tidak disebut Darmayatra tapi tetap disebut Tirtayatra. Yatra berarti perjalanan.
Jadi, Tirthayatra berarti perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci, perjalanan suci untuk menyucikan diri, perjalanan suci untuk bertemu dengan orang-orang suci, perjalanan suci untuk penyucian diri dari dosa-dosa.
Kata tirtha secara tata bahasa Sanskerta disebutkan  berasal dari akar kata “tr” yang berarti “tiryate anena (dengan mana diseberangkan), dengan mana orang diseberangkan dari lautan dosa.  Istilah lain yang mempunyai arti yang sama dengan Tirthayatra adalah tirthatana, tirthabhigamana”. Orang-orang yang melakukan tirtayatra disebut Tirtayatri  yang di India disebut yatri saja. Disamping Tirtayatra ada istilah lain yang mirip dengan Tirtayatra adalah Dharmayatra. Dharmayatra biasanya lebih tepat untuk menyebutkan orang-orang yang melakukan perjalanan suci untuk menyebarkan dharma. Sebagai contoh perjalanan yang dilakukan Rsi Agastya yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran dharma.
Tirta yatra merupakan yadnya agung yang sangat mulia,  oleh karena itu ia merupakan keharusan untuk dilakukan oleh setiap orang. Tirtayatra tidaklah harus diartikan melakukan persembahyangan ke beberapa tempat suci. Bagi yang kurang mampu (daridra) tetap bisa melakukan tirta yatra ke dalam diri karena di dalam diri juga ada tirta. Jadi tirta yatra ke dalam diri ini berarti membersihkan diri ke dalam.
  1. MAKNA
Makna tirta yatra dari aspek spiritual adalah sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan keyakinan umat Hindu terhadap agamanya. Sedangkan jika ditinjau dari aspek sosial, makna tirta yatra adalah menumbuhkan kesadaran keumatan diantara umat Hindu.
Bagi kami tirta yatra memiliki makna sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi, meningkatkan keimanan, dan kesucian rohani serta dalam melaksanakan tirta yatra patutlah didasari dengan pikiran yang jernih serta suci. Tidaklah patut bagi seseorang yang melaksanakan tirta yatra memiliki pikiran yang kotor. Untuk menghindari hal tersebut kita diwajibkan agar mengendalikan diri dan mengekang hawa nafsu.

  1. TUJUAN
Tujuan dari pelaksanaan tirtayatra terdapat dalam beberapa sloka, seperti sloka di bawah ini :
1.      Reg Weda I.23.22
Bunyinya :
IDAM APAH PRA VAHATA YAT KIM CA DURITAM MAYI, YAD VAHAM ABHIDUDROHA YAD VA SEPA UTANRTAM
 Artinya :
Ya Tuhan Yang Maha Esa penguasa air lenyapkan dan sucikan segala kesalahan atau dosa-dosa kami meskipun kami telah mengetahui bahwa perbuatan itu mesti tidak kami lakukan atau tidak benar.
2.      Reg Weda I.23.23
Bunyinya :
APO ADYANV ACARISAM RASENA SAM AGASMAHI, PAYASVAN AGNA A GAHI SAM PRAYAYA SAM AYUSA
Artinya :
Sekarang kami menerjunkan diri kedalam air, kami menyatu dengan kekuatan yang menjadikan air ini, semoga kesucian yang tersembunyi dalam air ini menyucikan dan memberikan kekuatan suci kepada kami.
3.      Reg Weda X.17.10
Bunyinya :
APO ASMAN MATARAH SUNDHAYANTU GHRTENA NO GHRTAPVAH PUNANTU VISVAM HI RIPRAM PRAVAHANTI DEVIR UD ID ABHYAH SUCIR A PUTA EMI
Artinya :
Semoga air suci ini menyucikan kami, bercahaya gemerlapan; semogalah pembersih ini membersihkan kami dengan air suci; semoga air suci ini mengusir segala kecemaran; sungguh kami bangkit memperoleh kesucian dari padanya.
4.      Sarasamuscaya 277
Bunyinya :
AKRODHANASCA RAJENDRA SATYA, SILO DRDHAWRATAH, ATMOPAMASCA BHUTESU SA, TIRTHAPHALAMASNUTE
Artinya :
Orang yang berprilaku tidak marah, teguh pada brata, kasih sayang terhadap sesama mahluk, akan mendapat pahala dari perjalanannya mendapatkan tirta suci.
5.      Sarasamuscaya 279
Bunyinya :
SADA DARIDRAIRAPI HI SAKYAM PRAPTUM NARADHIPA TIRTHABHIGAMANAM PUNYAM YAJNERAPI WISISYATE
Artinya :
Keutamaan tirthayatra itu amat suci, lebih utama daripada pensucian dengan yadnya yang lain dan dapat dilakukan oleh yang tidak punya harta.
Berdasarkan sloka-sloka dari kitab suci yang telah disebutkan di atas, tujuan tirta yatra adalah :
1.      Meningkatkan kesucian pribadi dan memperkuat keimanan kepada Ida Sang Hyang Widi dengan memperluas cakrawala memandang keagungan-Nya sehingga manusia makin teguh mengamalkan ajaran Dharma.
2.      Menghayati nilai-nilai sejarah dari objek suci yang dikunjungi.
3.      Mengimbangi dosa dengan perbuatan-perbuatan dharma. Istilah mengimbangi dosa digunakan karena menurut kepercayaan Hindu, dosa seseorang akan melekat pada atman sebagai karmawasana sesuai dengan ketentuan hukum karma phala.


BAB II
TEMPAT SUCI YANG DIKUNJUNGI

Dalam pelaksanaan Tirta yatra kami mengunjungi 3 tempat suci, diantaranya :
  1. PURA PUCAK MANGU
    1. Letak
Pura Pucak Mangu terletak di Kabupaten Badung, di daerah Plaga. Jika dikaitkan dengan Nawa Dewata, Pura Pucak Mangu merupakan stana dari Dewa Sangkara.
    1. Sejarah
Dalam Lontar Babad Mengwi disebutkan asal muasal dari Pura Pucak Mangu. Asal muasalnya dapat diuraikan sebagai berikut :
Konon leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran.
Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar diperbolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Permintaan dari I Gusti Bebalang tersebut pun diterima oleh I Gusti Ngurah Tabanan. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat ke sekeliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Ulun Danu Beratan didirikan oleh I Gusti Agung Putu yang berada di sebelah barat Gunung Mangu dan Pura Penataran Agung Tinggan di sebelah timur Gunung Mangu didirikan oleh keturunannya yaitu Cokorda Nyoman Mayun.
Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X - XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya.
Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga. Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran.
Sampai tahun 1896 saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 - 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.
  1. PURA ULUN DANU BATUR
    1. Letak
Ulun Danu Batur adalah sebuah pura yang terletak di Desa Batur, Kintamani, Bangli, Bali sebagai stana dari Bhatara Wisnu.
    1. Sejarah
Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur diuraikan dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. dan Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk.  Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut :
Babad Pasek dan Babad Kayu Selem
Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.
Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing, demikian sabda Hyang Pasupati.
Mohon maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,jawab ketiga putranya.
Nanda jangan khawatir, tandas Hyang Pasupati.
Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam.
Bhatara Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.
Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung Beratan ( Pucak Mangu ), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.
Raja Purana Pura Ulun Danu BatuPurana Tatwa Batur
Kisahnya adalah tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru.
''Mohon maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?''
''Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda''.
''Nah nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya.''
Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra.
''Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?''.
''Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda''.
''Oh begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang''.
''Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?''.
''Mohon maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci''.
''Oh kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.''
Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ''Nanda yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?''. ''Hamba juga minta air suci''.
''Nah nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.''
''Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?''
''Nanda minta balai agung''.
Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil nafasnya ''ah-ah, ah'', sehingga tempat itu disebut Basang Ah.
Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku Pucangan berkata, ''Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang''. Mereka tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan.
''Oh ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak.''
Ida Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ''Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin.''
Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.
Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan ke tengah paya lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air paya Beliau berkata, ''Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini''.
Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di tengah paya (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur / Tempuh Hyang. Artinya bekas pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata  yang diartikan oleh masyarakat Batur  ''gunung yang mendapat sinar matahari secara merata''.
3.         TIRTA EMPUL
a.     Letak
Tirta Empul adalah sebuah pura yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Lokasinya tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring yang dulu dibangun oleh presiden Soekarno.
b.    Sejarah
Konon terdapat sebuah cerita tentang seorang raja yang bernama Mayadenawa, Mayadenawa sangat sakti tetapi jahat. Bhatara Indra pun diutus dari langit untuk membunuh Mayadenawa. Mayadenawa kewalahan lalu melarikan diri dengan berjalan sambil memiringkan telapak kakinya agar tidak terdengar oleh Bhatara Indra. Dari sanalah kemudian muncul nama sebuah desa Tampak Siring. Mayadenawa kemudian meracuni pasukan Bhatara Indra dengan air yang sudah diracuni, Bhatara Indra lalu menancapkan sebuah bendera ke tanah dan tersembur air yang dijadikan penangkal racun Mayadenawa. Konon sumber air itulah yang kini disebut Tirta Empul.


BAB III
PENUTUP

  1. KESIMPULAN
Tirta yatra merupakan yadnya agung yang sangat mulia. Tirta yatra berarti suatu perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci, perjalanan suci untuk menyucikan diri, perjalanan suci untuk bertemu dengan orang-orang suci, perjalanan suci untuk penyucian diri dari dosa-dosa. Dalam melaksanakan tirta yatra patutlah didasari dengan pikiran yang jernih serta suci. Tidaklah patut bagi seseorang yang melaksanakan tirta yatra memiliki pikiran yang kotor. Untuk menghindari hal tersebut kita diwajibkan agar mengendalikan diri dan mengekang hawa nafsu.
Meningkatkan kesucian pribadi serta memperkuat keimanan kepada Ida Sang Hyang Widi, menghayati nilai-nilai sejarah dari objek suci yang dikunjungi, dan mengimbangi dosa dengan perbuatan-perbuatan dharma merupakan tujuan dari pelaksanaan tirta yatra.
Dalam tirta yatra yang telah dilaksanakan, kami telah dapat mengetahui sejarah pura-pura yang kami kunjungi melalui pembuatan laporan ini, diantaranya adalah Pura Penataran Pucak Mangu, Pura Ulun Danu Batur, dan Pura Tirta Empul. Kami berharap dengan melaksanakan tirta yatra ini, kami dapat memperkuat keimanan terhadap Sang Hyang Widhi dan dapat meningkatkan kesucian pribadi masing – masing.
  1. SARAN
Saran dari kelompok kami dalam melaksanakan tirta yatra adalah sebagai berikut :
1.      Jagalah kebersihan pura yang kita kunjungi.
2.      Dalam melaksanakan tirta yatra hendaknya kita mentaati peraturan atau tata krama yang berlaku di pura tersebut.
3.      Kendalikanlah diri dan kekanglah hawa nafsu yang ada dalam diri kita.
4.      Dalam melaksanakan persembahyangan hendaknya kita tertib dan khusuk.
5.      Maknailah perjalanan tirta yatra yang kita laksanakan.
  1. KESAN DAN PESAN
Kami sangat terkesan dengan perjalanan tirta yatra yang dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 2011 dengan tujuan Pura Penataran Pucak Mangu, Pura Ulun Danu Batur, dan Pura Tirta Empul. Pura – pura yang kami kunjungi memiliki keunikan dan nilai historisnya masing – masing. Salah satunya kebersihan pura, tempatnya yang indah, dan penataannya yang rapi.
Pesan kami adalah jagalah kebersihan pura yang kita kunjungi serta tetaplah jaga prilaku kita sesuai dengan tata krama yang berlaku. Janganlah memaknai perjalanan tirta yatra sebagai suatu perjalanan yang biasa, tetapi maknailah sebagai perjalanan untuk meningkatkan keimanan, srada bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi, dan sebagai jalan pengendalian diri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar