BAB I
PENDAHULUAN
- PENGERTIAN
Tirtha-yatra berasal dari kata tirtha dan yatra.
Tirtha berarti air suci, air kehidupan, atau nectar, tempat-tempat suci yang
ada air sucinya. Tirtha juga berarti orang-orang
suci, sebab orang-orang suci umumnya berada di tempat-tempat suci yang ada air
sucinya. Atau, orang-orang suci juga disebut sebagai tirtha karena orang-orang
suci mempunyai kekuatan suci untuk menyucikan orang, seperti halnya kekuatan
yang dimiliki oleh tempat-tempat suci atau tirtha. Di Bali tirta berarti
air suci yang sudah dimohonkan kepada Tuhan yang mana sudah menjadi wangsuh
pada dari Tuhan dan sudah mendapat berkat dari Tuhan. Air itu ( tirta ) walaupun
dibuat dari air aqua atau air pancuran, tetapi tidak lagi menjadi air biasa karena sudah melalui suatu proses upacara keagamaan atau
spiritual tertentu sehingga ia telah menjadi tirta. Tirta bisa juga berarti
tempat suci. Di India ada tempat suci yang kesuciannya melebihi tempat suci
yang lain. Tempat suci itu disebut chardame.
Char atinya empat dan dame artinya tempat yang sangat suci.
Keempat tempat suci itu yaitu :
1.
Bradrinat yang ada di Himalaya
tempat Rsi Wiasa bertapa. Goa tempat bertapa sampai sekarang masih ada.
2.
Edarnat tempat pemujaan kepada Dewa Siwa.
3.
Jamuna Sri tempat munculnya Sungai Jamuna
4.
Gangga Sri tempat munculnya Sungai Gangga.
Siapun yang
berhasil mengunjungi keempat tempat suci ini kemoksaan atau pembebasan
duniawai terjamin. Oleh karena itu sangat jarang ada orang berhasil ke sana. Walaupun tempat ini melebihi tempat lain
kesuciannya, namun pergi ke sana tidak disebut Darmayatra tapi tetap disebut Tirtayatra. Yatra berarti perjalanan.
Jadi, Tirthayatra berarti perjalanan suci mengunjungi
tempat-tempat suci, perjalanan suci untuk menyucikan diri, perjalanan suci
untuk bertemu dengan orang-orang suci, perjalanan suci untuk penyucian diri
dari dosa-dosa.
Kata tirtha
secara tata bahasa Sanskerta disebutkan berasal dari akar kata “tr” yang
berarti “tiryate anena” (dengan mana diseberangkan), dengan mana orang
diseberangkan dari lautan dosa. Istilah lain yang mempunyai arti yang
sama dengan Tirthayatra adalah “tirthatana”, “tirthabhigamana”. Orang-orang
yang melakukan tirtayatra disebut Tirtayatri
yang di India disebut yatri saja. Disamping Tirtayatra
ada istilah lain yang mirip dengan Tirtayatra
adalah Dharmayatra. Dharmayatra biasanya lebih tepat untuk
menyebutkan orang-orang yang melakukan perjalanan suci untuk menyebarkan
dharma. Sebagai contoh perjalanan yang dilakukan Rsi Agastya yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran
dharma.
Tirta yatra merupakan yadnya agung yang sangat mulia,
oleh karena itu ia merupakan keharusan untuk dilakukan oleh setiap orang. Tirtayatra tidaklah harus diartikan melakukan persembahyangan ke beberapa
tempat suci. Bagi yang kurang mampu (daridra) tetap bisa melakukan tirta yatra ke dalam diri karena di dalam diri juga ada tirta. Jadi tirta yatra ke
dalam diri ini berarti membersihkan diri ke dalam.
- MAKNA
Makna tirta yatra
dari aspek spiritual adalah sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan keyakinan
umat Hindu terhadap agamanya. Sedangkan jika ditinjau dari aspek sosial, makna
tirta yatra adalah menumbuhkan kesadaran keumatan diantara umat Hindu.
Bagi kami tirta
yatra memiliki makna sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Ida Sang
Hyang Widhi, meningkatkan keimanan, dan kesucian rohani serta dalam
melaksanakan tirta yatra patutlah didasari dengan pikiran yang jernih serta
suci. Tidaklah patut bagi seseorang yang melaksanakan tirta yatra memiliki
pikiran yang kotor. Untuk menghindari hal tersebut kita diwajibkan agar
mengendalikan diri dan mengekang hawa nafsu.
- TUJUAN
Tujuan dari pelaksanaan tirtayatra terdapat dalam
beberapa sloka, seperti sloka di bawah ini :
1. Reg
Weda I.23.22
Bunyinya :
IDAM APAH PRA
VAHATA YAT KIM CA DURITAM MAYI, YAD VAHAM ABHIDUDROHA YAD VA SEPA UTANRTAM
Artinya :
Ya Tuhan Yang Maha Esa penguasa air lenyapkan dan
sucikan segala kesalahan atau dosa-dosa kami meskipun kami telah mengetahui
bahwa perbuatan itu mesti tidak kami lakukan atau tidak benar.
2. Reg
Weda I.23.23
Bunyinya :
APO ADYANV
ACARISAM RASENA SAM AGASMAHI, PAYASVAN AGNA A GAHI SAM PRAYAYA SAM AYUSA
Artinya :
Sekarang kami menerjunkan diri kedalam air, kami
menyatu dengan kekuatan yang menjadikan air ini, semoga kesucian yang tersembunyi dalam
air ini menyucikan dan memberikan kekuatan suci kepada kami.
3. Reg
Weda X.17.10
Bunyinya :
APO ASMAN
MATARAH SUNDHAYANTU GHRTENA NO GHRTAPVAH PUNANTU VISVAM HI RIPRAM PRAVAHANTI
DEVIR UD ID ABHYAH SUCIR A PUTA EMI
Artinya :
Semoga air suci ini menyucikan kami, bercahaya gemerlapan;
semogalah pembersih ini membersihkan kami dengan air suci; semoga air suci ini
mengusir segala kecemaran; sungguh kami bangkit memperoleh kesucian dari
padanya.
4. Sarasamuscaya
277
Bunyinya :
AKRODHANASCA
RAJENDRA SATYA, SILO DRDHAWRATAH, ATMOPAMASCA BHUTESU SA, TIRTHAPHALAMASNUTE
Artinya :
Orang yang berprilaku tidak marah, teguh pada brata,
kasih sayang terhadap sesama mahluk, akan mendapat pahala dari perjalanannya
mendapatkan tirta suci.
5. Sarasamuscaya
279
Bunyinya :
SADA
DARIDRAIRAPI HI SAKYAM PRAPTUM NARADHIPA TIRTHABHIGAMANAM PUNYAM YAJNERAPI
WISISYATE
Artinya :
Keutamaan tirthayatra itu amat suci, lebih utama
daripada pensucian dengan yadnya yang lain dan dapat dilakukan oleh yang tidak
punya harta.
Berdasarkan sloka-sloka dari kitab suci yang telah disebutkan di
atas, tujuan tirta yatra adalah :
1.
Meningkatkan kesucian pribadi
dan memperkuat keimanan kepada Ida
Sang Hyang Widi dengan memperluas cakrawala memandang
keagungan-Nya sehingga manusia makin teguh mengamalkan ajaran Dharma.
2.
Menghayati nilai-nilai sejarah
dari objek suci yang dikunjungi.
3.
Mengimbangi dosa dengan
perbuatan-perbuatan dharma. Istilah mengimbangi dosa digunakan karena menurut
kepercayaan Hindu, dosa seseorang akan melekat pada atman sebagai karmawasana
sesuai dengan ketentuan hukum karma phala.
BAB II
TEMPAT SUCI YANG DIKUNJUNGI
Dalam pelaksanaan Tirta yatra kami mengunjungi
3 tempat suci, diantaranya :
- PURA PUCAK MANGU
- Letak
Pura Pucak Mangu terletak di Kabupaten Badung, di
daerah Plaga. Jika dikaitkan dengan Nawa Dewata, Pura Pucak Mangu merupakan
stana dari Dewa
Sangkara.
- Sejarah
Dalam
Lontar Babad Mengwi disebutkan asal
muasal dari Pura Pucak Mangu. Asal muasalnya dapat diuraikan sebagai berikut :
Konon leluhur
Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria
dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran.
Karena kalah I Gusti Agung Putu
ditawan dan diserahkan kepada I Gusti Ngurah Tabanan sebagai
tawanan perang. Seorang
patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan
agar diperbolehkan mengajak I
Gusti Agung Putu ke Marga. Permintaan
dari I Gusti Bebalang tersebut pun diterima oleh I Gusti Ngurah Tabanan. Setelah
di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan
cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
Sebelum membalas kekalahannya, I
Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura
Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat
pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung
Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil
tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I
Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.
Gunung Mangu ini terletak di
sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak
Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung
tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya
Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura
Pucak Mangu tersebut.
Nama Pucak Pengelengan menurut
penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak
Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti
Agung Putu disuruh ngelengan (melihat ke sekeliling). Mana daerah
yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah
Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.
Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura
Penataran yaitu Pura Ulun Danu Beratan didirikan oleh I Gusti Agung Putu yang
berada di sebelah barat Gunung Mangu dan Pura Penataran Agung Tinggan di
sebelah timur Gunung Mangu didirikan oleh keturunannya yaitu Cokorda Nyoman
Mayun.
Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah
pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan
bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan
ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan
bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang
(Siwa Bhaga).
Menurut para ahli purba kala,
Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli
memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali
berlangsung dari abad X - XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan
bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada
prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya.
Dari cerita keluarga Raja Mengwi
konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai
kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari
lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon
itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk
Lingga tersebut. Setelah itu kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung
Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura
Penataran-nya di tepi Danau Beratan.
Nampaknya sampai abad XVIII
pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan
pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar
Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih
Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana
tempat Lingga. Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih
Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan
sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi,
atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun
Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun
Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali
menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran.
Sampai tahun 1896 saat runtuhnya
Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu
direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh.
Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 - 1935. Tahun 1978 terjadi angin
kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga
pura tersebut direstorasi kembali.
- PURA ULUN DANU BATUR
- Letak
Ulun
Danu Batur adalah sebuah pura yang terletak di Desa Batur, Kintamani, Bangli,
Bali sebagai stana dari Bhatara Wisnu.
- Sejarah
Sejarah
dan terjadinya Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur diuraikan dalam
Babad
Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I
Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem yang disalin oleh
Drs. Putu Budiastra, dkk. dan Raja Purana Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh
Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya Gunung Batur serta Pura
Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut :
Babad Pasek dan Babad Kayu Selem
Dalam
versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih
menyatu dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara
Hyang Pasupati yang berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru)
merasa kasihan melihat kedua pulau tersebut terombang-ambing. Beliau lantas
mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya, Bhatara Hyang Mahadewa,
dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.
Nanda
bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga
datang ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing, demikian sabda
Hyang Pasupati.
Mohon
maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,jawab ketiga
putranya.
Nanda
jangan khawatir, tandas Hyang Pasupati.
Begitulah,
akhirnya Hyang Pasupati memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan
dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib ketiganya tiba di Gunung Agung, dan
Beliau sepakat mencari tempat bersemayam.
Bhatara
Hyang Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra Jaya
(Mahadewa) berstana di Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu
memilih sebuah kubangan besar yakni Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.
Setelah
itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di
Andakasa, Gunung Beratan ( Pucak Mangu ), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga
bila dirunut secara historis, khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali
ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.
Raja Purana Pura Ulun Danu Batu – Purana Tatwa Batur
Kisahnya
adalah tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul,
Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru.
''Mohon
maaf Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?''
''Oh
kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai
ayahanda''.
''Nah
nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah
ke Tirta Empul antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya.''
Demikianlah
I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra
serta I Ratu Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di
stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan langsung menghadap Bhatara Indra.
''Oh
dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?''.
''Oh
kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama
ayahanda''.
''Oh
begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah
sudah berkurang''.
''Nah,
nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda
minta?''.
''Mohon
maaf ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci''.
''Oh
kalau itu, baiklah, kini ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di
sanalah nanda menetap di bekas tempat ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini
air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.''
Begitulah,
beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, ''Nanda
yang kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?''. ''Hamba juga minta air
suci''.
''Nah
nanda I Gede Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan
beri nama tirta Mas Manik Mampeh. Letaknya di barat laut Danau Batur.''
''Nah
nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?''
''Nanda
minta balai agung''.
Beliau
diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku
Pucangan agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung
menuju arah timur laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu
Mas Membah istirahat sambil nafasnya ''ah-ah, ah'', sehingga tempat itu disebut
Basang Ah.
Perjalanan
dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku
Pucangan berkata, ''Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang''. Mereka
tertawa karena melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung
oleh Mangku Pucangan.
''Oh
ha, ha, ha dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak
capak.''
Ida
Bhatari berkenan menunjukkan wajah aslinya dan berkata, ''Nanti jika kalian
semua memuja kepada-Ku, masih di pintu gerbang akan diterbangkan angin.''
Begitulah
yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga Pengotan, hancur di candi
Pura Ulun Danu Batur.
Perjalanan
dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas
dan Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda
tersebut dilemparkan ke tengah paya lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku
Pucangan. Tepat di tengah air paya Beliau berkata, ''Sudahlah Mangku Pucangan
tempatkan Aku di sini''.
Begitu
Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung
tepat di tengah paya (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur / Tempuh Hyang. Artinya bekas
pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari
Gunung Tampur Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang
letaknya di dataran rendah, serta Gunung Sinarata yang diartikan oleh masyarakat Batur ''gunung yang mendapat sinar matahari secara
merata''.
3.
TIRTA
EMPUL
a. Letak
Tirta Empul adalah sebuah pura yang
terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali.
Lokasinya tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring yang dulu dibangun
oleh presiden Soekarno.
b. Sejarah
Konon terdapat sebuah cerita
tentang seorang raja yang bernama Mayadenawa, Mayadenawa sangat sakti tetapi
jahat. Bhatara Indra pun diutus dari langit untuk membunuh Mayadenawa.
Mayadenawa kewalahan lalu melarikan diri dengan berjalan sambil memiringkan
telapak kakinya agar tidak terdengar oleh Bhatara Indra. Dari sanalah kemudian
muncul nama sebuah desa Tampak Siring. Mayadenawa kemudian meracuni pasukan
Bhatara Indra dengan air yang sudah diracuni, Bhatara Indra lalu menancapkan
sebuah bendera ke tanah dan tersembur air yang dijadikan penangkal racun
Mayadenawa. Konon sumber air itulah yang kini disebut Tirta Empul.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Tirta yatra merupakan
yadnya agung yang sangat mulia. Tirta yatra
berarti suatu perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci,
perjalanan suci untuk menyucikan diri, perjalanan suci untuk bertemu dengan
orang-orang suci, perjalanan suci untuk penyucian diri dari dosa-dosa. Dalam melaksanakan tirta yatra patutlah didasari dengan
pikiran yang jernih serta suci. Tidaklah patut bagi seseorang yang melaksanakan
tirta yatra memiliki pikiran yang kotor. Untuk menghindari hal tersebut kita
diwajibkan agar mengendalikan diri dan mengekang hawa nafsu.
Meningkatkan kesucian pribadi serta memperkuat keimanan
kepada Ida Sang Hyang Widi, menghayati
nilai-nilai sejarah dari objek suci yang dikunjungi, dan mengimbangi dosa dengan
perbuatan-perbuatan dharma merupakan
tujuan dari pelaksanaan tirta yatra.
Dalam tirta yatra
yang telah dilaksanakan, kami telah dapat mengetahui sejarah pura-pura yang
kami kunjungi melalui pembuatan laporan ini, diantaranya adalah Pura Penataran
Pucak Mangu, Pura Ulun Danu Batur, dan Pura Tirta Empul. Kami berharap dengan
melaksanakan tirta yatra ini, kami dapat memperkuat keimanan terhadap Sang
Hyang Widhi dan dapat meningkatkan kesucian pribadi masing – masing.
- SARAN
Saran dari kelompok
kami dalam melaksanakan tirta yatra adalah sebagai berikut :
1. Jagalah kebersihan pura yang kita kunjungi.
2. Dalam melaksanakan tirta yatra hendaknya kita mentaati
peraturan atau tata krama yang berlaku di pura tersebut.
3. Kendalikanlah diri dan kekanglah hawa nafsu yang ada
dalam diri kita.
4. Dalam melaksanakan persembahyangan hendaknya kita tertib
dan khusuk.
5. Maknailah perjalanan tirta yatra yang kita laksanakan.
- KESAN DAN PESAN
Kami sangat
terkesan dengan perjalanan tirta yatra yang dilaksanakan pada tanggal 7 Maret
2011 dengan tujuan Pura Penataran Pucak Mangu, Pura Ulun Danu Batur, dan Pura
Tirta Empul. Pura – pura yang kami kunjungi memiliki keunikan dan nilai
historisnya masing – masing. Salah satunya kebersihan pura, tempatnya yang
indah, dan penataannya yang rapi.
Pesan kami adalah
jagalah kebersihan pura yang kita kunjungi serta tetaplah jaga prilaku kita
sesuai dengan tata krama yang berlaku. Janganlah memaknai perjalanan tirta
yatra sebagai suatu perjalanan yang biasa, tetapi maknailah sebagai perjalanan
untuk meningkatkan keimanan, srada bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi, dan sebagai
jalan pengendalian diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar