WAJAHKU
MENGALIHKAN DUNIAKU
Sebut saja namaku Wirata. Lengkapnya adalah Wirata Adi. Orang
bilang perawakanku itu tinggi, kulit sawo matang, dan agak gemuk. Ada juga yang
bilang aku tidak terlalu tinggi atau mediumlah, kulitnya agak putih, dan tidak terlalu
gemuk. Selain itu, ada juga yang bilang aku ini Si Cowok Berbulu. Mungkin ya
karena banyaknya rambut yang tumbuh di bagian tertentu. Seperti rambut di kaki,
ketiak, dada, atas bibir, janggut, perut, dan bagian sensitive tentunya. Aku
rasa ada beberapa janggalisasi
dengan
predikat Si Cowok Berbulu itu. Apabila diperhatikan di dalam pelajaran Biologi
yang pernah aku dapatkan tidak ada namanya mamalia yang memiliki bulu tetapi
yang dimiliki adalah rambut. Manusia termasuk ke dalam golongan makhluk mamalia.
Ya itu mungkin sekedar celoteh dalam hati sajalah. Toh juga rambut tetap dikatakan bulu juga oleh beberapa orang.
“Lucu ! Hehehehehehehe”, ketawaku di dalam hati. Mungkin ada campurisasi atau kekurangpahaman
perbedaan antara bulu dan rambut. Beberapa pandangan yang berbeda. Ya mungkin
karena negeri ini menjunjung perbedaan atau karena apalah itu sehingga ada
pandangan yang berbeda terhadapku.
Terdiam sejenak di dalam rumah ketigaku.
Sebutan itu aku gunakan sebagai pengganti kata kamar kos. Serasa sebutan itu
memberikan motivasi untukku agar aku betah sebagai pesinggahan sementaraku saat
aku merantau menuntut ilmuku untuk meraih masa depanku. Terpaku sepintas di
hadapannya. Perlahan demi perlahan mataku mulai bergerilya menerjang seluruh
pemandangan yang ada di hadapanku. Dari ujung atas sampai bawah ku pandangi.
Seolah ingin menghapuskan hasratku dahagaku untuk menjawab pertanyaan di lubuk
hati. Perlahan tapi pasti aku melihat duplikatku yang tak ada beda dengan
aslinya. Mulai dari matanya, hidungnya, bibirnya, telinganya bahkan rambut
tipis yang menghiasi bibir atas dan janggutku. Ya sebuah wajah yang mungkin
bisa dibilang tidak begitu menarik adalah jawaban pertama ku. Kembali mataku
bergerilya untuk menjawab pertanyaan keduaku. Akupun terjerumus ke dalam
kejadian yang telah berlalu.
Kejadian pertama lokasinya di sebuah
supermarket dekat dengan sekolahku. Di saat aku tetidur dengan pulasnya di
rumah ketigaku, aku pun beranjak dari pulau kapukku yang empuk. Beranjak bukan karena ada yang mengganggu tetapi
karena cacing-cacing perut sudah bernyanyi ria. Akhirnya, aku putuskan untuk
menunggangi Vira kuda besi kesayanganku menuju ke supermarket dekat dengan
sekolahku. Beberapa saat kemudian ku parkirkan Vira di tempat yang aman. Aku
langkahkan kakiku bergerilya untuk mencari apa yang bisa membuat
cacing-cacingku diam membisu. Mataku dimanjakan dengan bergai makanan dan
minuman yang seolah-olah menganggilku untuk menghampiri dan membelinya.
Ternyata, pilihanku jatuh pada sebuah roti isi, sebuah mie instant cepat saji,
dan sebotol minuman dingin. Bergegaslah aku menuju kasir untuk membayar
belanjaanku. Setelah itu, terdengar suara yang berkata, “Totalnya Rp 15.000,00
ya, Pak.” Hal yang tak biasa. Aku kaget, kata terakhir yang terucap membuat
hatiku merespon dan bergumam, “Aku kelihatan tua ya ? Waduh ! Aku dikira
bapak-bapak sama Mbaknya, padahal aku masih anak SMA. Apakah ini nasib atau
bagaimana ?”. Ku bayar belanjaanku dan bergegas menuju rumah ketigaku dengan
menunggangi Vira kuda besi kesayanganku. Aku sudah tidak sabar untuk memasak
mie instant yang ku beli tadi untuk upah cacing-cacingku yang sudah bernyanyi
ria.
Kejadian kedua. Saat itu aku sedang asik
mengorol bersama dua temanku dan seorang guru. Kami sedang menuggu rombongan
sekolah yang masih dalam perjalanan menuju lokasi. Kami memang sengaja tiba di
lokasi lebih awal untuk mempersiapkan alat-alat yang didiperlukan untuk
memperlancar kegiatan bakti lingkungan yang akan dilaksanakan. Sedang asiknya
ngobrol tiba-tiba datang seseorang dari kejauhan. Ternyata itu adalah pengurus
desa yang kami kunjungi. Sebut aja namanya Bapak Budi. Kita pun mengobrol
hingga sampai pada suatu percakapan yang menanyakan nama kami, asal, dan
pekerjaan. Hal anehnya dimulai di sini. Terlontar sebuah pertanyaan dari Bapak
Budi kepada guruku, “Maaf Bu, Bapak yang di samping Ibu mengajar pelajaran apa
?”. Saat terlontanya pertanyaan itu hanya aku yang ada di samping guruku itu.
Pertamaya aku sedikit lola (loading
lambat, red) mendengarkan pertanyaan itu. Hatiku merespon, “Siapa yang dibilang
bapak ya ?”. Pikiranku mulai mengerti dengan pertanyaan itu. Ternyata itu
adalah aku, yang dimaksud dengan Bapak. “Astaga !”, hatiku kembali merespon.
Guruku menjawab pertanyaan itu, “Maaf Pak, ini adalah anak didik saya. Mungkin
ya wajahnya sangat dewasa.” Pak Budi pun merespon, “Oh..! Maaf Bu saya kira
tadi guru wajahnya itu keliahatn sebaya dengan Ibu.” Kemudian dua orang temanku
tertawa terbahak-bahak gara-gara mendengarkan percakapan itu. Mereka pun
berkata, “Hahahahahahahahahahaha ! Wirata kau dipanggil Bapak. Cocok-cocok
dengan wajahmu itu.”. Celotehan temanku itu tidak membuatku naik pitan. Ya aku
tau maksud mereka itu cuman bercanda lagian pengurus desa tidak tahu kan tidak
apa-apa. Ya aku balas juga celotehan temanku itu dengan senyuman.
Setelah teringat kejadian itu, aku
menarik kesimpulan bahwa ada orang yang tertipu kalau melihatku. Aku perhatikan
lagi duplikatku yang ada di depan mataku dari ujung atas sampai bawah. Ternyata
memang benar juga ya. Akupun termenung sementara. Ya memang benar penampilan
wajahku terlihat tak sebanding dengan usiaku kini. Dilihat dari segi wajah, aku
terlihat seperti orang yang dewasa. Kira-kira umurnya itu 23 tahun ke atas.
Padahal usiaku kini baru 18 tahun dan masih mengenyam pendidikan di jenjang
SMA. Bila orang melihatku mereka bilang tidak percaya aku adalah anak SMA tapi dibilangnya
bapak-bapak, anak kuliahan, dikiranya sudah bekerja, dan sebagainya. Lagi aku
termenung sementara. Aku teringat dengan sebuah film yang pernah aku tonton.
Filmnya itu berjudul Johnny English. Teringat sebuah penuturan yang ada di film
itu. Penuturannya, usia dan wajahmu yang terlihat dewasa akan membawa
kebijaksanaan bagimu. Lumayan memotivasi diriku. Aku pun berpikir ya mungkin
dengan wajahku ini aku nantinya bisa disegani o;eh orang lain. Ya cuek ajalah,
percaya diri inilah aku. Kemudian aku beranjak dari dalam rumah ketigaku ini,
bergegas menunggangi Vira si kuda besi kesayanganku menuju sekolah sebelum hari
keburu siang nanti aku bisa terlambat ke sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar